Pada tahun 2009 saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau dewata, Bali. Kesempatan ini saya gunakan untuk mengunjungi teman, studio, sentra keramik, dan galeri yang ada di Bali. Lokasi galeri dan workshop teman saya berada di daerah Canggu, persis di depan jalan raya dimana sekelilingnya masih terhampar luas sawah-sawah. Foto di atas memperlihatkan beberapa sudut galerinya. Produknya kebanyakan hasil dari teknik putar dan slip casting. Tempat workshop dan galerinya bersebelahan, hanya dibatasi oleh partisi. Kesehariannya ia memproduksi benda-benda tableware. Sedang gaya berkeseniannya cenderung ke arah object. Selain itu, ia juga mengerjakan produk aksesoris keramik, seperti anting-anting dan kalung.
Selain ke teman, saya juga mengunjungi sentra kerajinan Keramik Pejaten (keramik bakaran tinggi) dan gerabah hias di Pejaten, Tabanan . Sentra gerabah sudah ada sejak dari dulu, sementara keramik bakaran tinggi baru dikenal pada sekitar tahun 1985. Orang pertama yang mengenalkannya adalah Hester Tjebbes, berkewarganegaraan Perancis, kelahiran Belanda. Ia menyarankan kepada pak Tanteri yang merupakan tokoh masyarakat dan pelaku industri saat itu untuk melakukan pengembangan produk keramik selain keramik gerabah (earthenware/keramik bakaran rendah) di desa Pejaten. Ia meyakinkan bahwa dengan adanya material/bahan tanah liat baru (keramik stoneware/bakaran tinggi) bisa menghasilkan nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan keramik gerabah. Selain itu terdapat kekhawatiran terhadap bahan baku gerabah yang semakin menipis karena terjadinya eksplorasi besar-besaran, terutama dalam pembuatan bata merah dan genting. Ini terbukti saat ini sumber tanah liat di sekitar Pejaten sudah habis dan mereka mulai mencari sumber di daerah lain.
Pengenalan material baru ini berdampak terhadap perubahan teknologinya baik infrastruktur maupun teknik pembentukan dan dekorasinya. Tungku bakarnya harus bisa mencapai 1200 derajat celsius, untuk mempercepat produksi dibutuhkan mesin putar, untuk mengolah tanah dibutuhkan mesin ball mill, karena menggunakan tanah liat stoneware maka perlu bahan-bahan glasir, dsb. Teknik pembentukannya pun semakin berkembang dengan adanya alat-alat di atas, begitu pun dengan teknik dekorasinya. Tema estetik dekorasinya lebih ke arah flora dan fauna, seperti cicak, gajah, katak, daun-daunan, dan bunga-bungaan. Hingga saat ini tema flora dan fauna masih menjadi primadona pengrajin keramik di daerah ini.
Dalam melakukan pembinaan dan pelatihan keramik di Pejaten, Hester Tjebbes disponsori oleh sebuah yayasan Belanda HIVOS. Peserta pelatihan diberi fasilitas seperti materi pelatihan, bahan dan peralatan produksi, sewa tempat, fee peserta pelatihan, dan sebagainya. Tapi pada tahun 1992 proyek tersebut terhenti, karena ada masalah politis antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Meskipun demikian, waktu pelatihan selama 7 tahun sudah dirasakan cukup bagi sebagian pesertanya untuk bisa merintis sebuah workshop atau usaha keramik secara mandiri. Saat ini ada sekitar 5 perusahaan keramik bakaran tinggi yang masih eksis. Ada 2 perusahaan yang cukup besar, yaitu Tanteri Keramik yang diteruskan oleh anaknya yang bernama Oka Mahendra dan CV Keramik Pejaten yang dimiliki oleh I Made Durya. Jumlah karyawannya antara 10 sampai 30 orang.
Sentra keramik Pejaten dikenal dengan produk utility-nya (aspek fungsi/kegunaan), seperti perangkat table top yang terdiri dari teko set, piring, mangkok, tempat merica dan garam, asbak, vas bunga, aroma therapy, dsb. Teknik pembentukan yang umum dipakai adalah teknik putar dan teknik cetak (slip casting). Sementara itu untuk pengrajin gerabah hiasnya hanya tersisa beberapa orang saja. Ada salah satu yang merupakan tokoh pengrajin gerabah hias di desa Pejaten bernama Kuturan. Kebanyakan produk yang ia buat berupa hiasan taman/eksterior. Teknik pembentukan yang digunakannya adalah teknik handbuilding dan teknik cetak tekan (press molding). Pengrajin lainnya dengan alasan pasar, lebih memilih membuat genting dan bata untuk keperluan bahan bangunan daripada keramik hias. Khusus genting, peminatnya bahkan sampai ke luar negri, seperti Jepang dan beberapa negara eropa.
Selain ke Pejaten saya berkunjung ke Gaya Keramik dan Tamin Keramik yang berada di Ubud, Gianyar. Gaya Keramik yang dikelola oleh orang Italy dan Amerika ini memiliki kekhasan dalam produk raku-nya. Dikenal dengan istilah naked raku, dimana raku-nya berbeda dari raku pada umumnya, baik jenis klasik (cara Jepang) ataupun western raku. Tidak ada karakter raku yang kehitaman atau berluster/berkilauan seperti hasil raku pada umumnya. Sedangkan Tamin adalah seorang keramikus otodidak asal Cimahi (Bandung) yang merantau ke Bali dan kemudian menetap di sana. Produknya begitu ke 'jepang-jepangan', baik bentuk ataupun glasirnya. Seringkali tempat workshopnya menerima residensi seniman-seniman keramik baik dari dalam maupun luar negri.
Selain ke tempat-tempat di atas, saya pun berkunjung ke galeri kontemporer di sana, seperti Kendra Gallery dan Biasa Gallery. Keduanya berada di daerah Seminyak, Kuta. Galeri tersebut banyak memamerkan seniman kontemporer Indonesia, baik seniman muda ataupun yang sudah senior.





